Darso UNPAD The Penom

Unknown 20:05:00

[Unpad.ac.id, 29/12] Seniman Calung dan Pop Sunda, Darso, mengaku bangga dapat tampil dalam gelaran yang digagas Unpad bersama Bank Jabar Banten bertajuk “Darso The Phenomenon”, Selasa (29/12). Ia yang tampil dengan gaya khasnya itu mengaku seperti dianggap sebagai raja yang diposisikan begitu tinggi oleh ratusan penggemarnya yang memadati Ghra Sanusi Hardjadinata, Jln. Dipati Ukur 35 Bandung.
“Saya seperti raja saat tampil di Unpad,” ujarnya di hadapan wartawan usai pergelaran. Dirinya mengaku baru pertama kali manggung di kawasan pendidikan, seperti Unpad malam itu. Menjelaskan dalam bahasa Indonesia yang terkadang dikombinasikan dengan bahasa Sunda, ia mengungkapkan bahwa begitu banyak perbedaan antara saat tampil memenuhi panggilan hajatan warga dengan permintaan satu itu.
“Konsep pergelaran ini diciptakan langsung oleh Unpad. Bagus! Saya dianggap seperti raja. Sementara saat hajatan, saya yang harus turun bersama-sama dengan penonton,” ungkap Darso yang mengawali karirnya sebagai seniman musik bersama grup band Nada Karya pada 1962.
Konsep pergelaran seperti apa yang dimaksud Darso?
Saat ratusan penonton masih tertegun usai mendengarkan narasi perjalanan hidup Darso yang dibacakan pembawa acara, Darso tiba-tiba muncul dari samping Grha Sanusi Hardjadinata dengan menunggangi kuda putih. Saat itu ia tampil menggunakan kostum hitam-hitam dengan ikat kepala dan sarung yang diselempangkan di tubuhnya. Tepuk tangan penonton pun membahana ke seluruh ruangan saat Darso menyanyikan lagu berjudul Maripi yang diiringi irama calung yang dimainkan Grup Calung Asep Darso.
Tak lupa lagu Kembang Tanjung Panineungan yang sempat menjadi tembang andalan Darso setiap manggung, dinyanyikan guna memanjakan telinga pendengarnya. Ia juga tampil duet bersama Neneng Yeti Saripah saat menyanyikan lagu Randa Geulis yang disertai dengan goyangan khasnya, termasuk juluran lidah yang biasa ia lakukan saat menyanyi. Gaya yang terkesan nyentrik tersebut menurut seniman seni Sunda, Nano S. merupakan ciri khas Darso yang tidak dimiliki penyanyi lainnya.
“Memang seperti itulah Darso, fenomenal. Aneh tapi nyata. Lagu Kembang Tanjung Panineungan yang berkisah tentang seorang ibu yang mengandung anaknya memang lebih pantas dinyanyikan oleh wanita. Tapi karena Darso menyukainya, aturan tersebut pun ia langgar,” jelas Nano.
Ia juga berpendapat bahwa sosok Darso mencerminkan kekuatan rakyat yang apa adanya dan tidak terikat terhadap aturan. Nano mengaku meski secara pribadi ia bertolak belakang dengan Darso, namun dirinya tetap salut terhadap karya yang diusung ayah empat anak tersebut. Menurut Nano, bagi tokoh-tokoh musik, hal yang dilakukan Darso dianggap merusak, namun Darso tidak peduli dengan anggapan tersebut. “Kata Darso mah, bae weh,” ujar Nano.
Tidak jauh berbeda dengan pendapat Nano S, Dekan Fakultas Sastra Unpad yang tahun depan akan berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya, Prof. Dr. Dadang Suganda, Drs., M. Hum, berpendapat bahwa dari segi musik Darso merupakan pemain calung yang unggul dan ulung.
“Ia mampu mengolaborasikan jenis musik tradisional dengan modern sehingga membawa seni tradisional berada di kawasan tengah. Gaya Darso yang unik kadang-kadang membuat kita yang melihatnya merasa geli karena tingkahnya yang lucu. Meski lagu-lagu yang dinyanyikan bukan merupakan ciptaan Darso, namun tema-tema yang dihadirkan merupakan catatan kehidupan rakyat keseharian. Liriknya familiar sehingga mudah diingat,” papar Prof. Dadang.
Sementara dalam segi sosok, Prof. Dadang menilai bahwa Darso merupakan kreator, inovator, sekaligus inspirator. Selama beberapa tahun, lanjut Prof. Dadang, Darso sangat konsisten dengan Calung sehingga keberadaan alat musik tradisional tersebut dapat terus eksis. “Darso sangat cocok mendapat gelar ‘Ikon Calung Indonesia’,” tandas Prof. Dadang.
Dalam pergelaran tersebut Darso berganti kostum beberapa kali. Pada penampilannya yang kedua, Darso tampil dengan kostum kuning-biru. Kali ini tanpa ikat kepala namun tetap menyelempangkan sarung di tubuhnya. Dengan berbalut kostum tersebut ia menyanyikan lagu Tanjakan Burangrang dan Sarboah yang masih diiringi dengan alat musik Calung.
Sementara pada kostum ketiganya, pria berdarah Jawa-Sunda itu mengenakan busana khas yang kerap ia gunakan saat tampil membawakan lagu-lagu Pop Sunda. Setelan khasnya itu dapat dengan mudah ditemukan pada penampilannya di video klip lagu-lagu Darso yang biasa diputar di televisi lokal Jawa Barat. Kacamata hitam, topi ala koboi, kemeja dengan dasi yang dibiarkan menjuntai panjang ke bawah, jas dan celana, serta dilengkapi dengan sepatu kain bergambar kartun.
Saat mengenakan setelan tersebutlah ia menyanyikan tiga lagu Pop Sunda berjudul Dulang Kuring, Amparan Sajadah, dan Kabogoh Jauh yang diiringi musik dari band yang memainkan alat-alat musik modern. Ketiga lagu tersebut dinyanyikan setelah penonton menikmati penampilan Abiel Jatnika yang menyanyikan lagu Pop Sunda Anak berjudul Ka Sakola. Kemudian Darso menutup penampilannya dengan membawakan tiga lagu yang dinyanyikan secara medley.
Seorang penonton, Rien A. Muslim Rukhsan, mengaku pada awalnya dirinya anti terhadap musik-musik Sunda. Saat mengandung anak sulungnya, Maritsa Khairunnisa, ia lebih banyak mendengarkan lagu-lagu jazz dan klasik. “Saat usianya baru tiga bulan, neneknya yang memang penggemar Darso rajin memutarkan lagu-lagu Darso. Hasilnya Ica (panggilan akrab Maritsa) suka dengan lagu-lagu Darso hingga saat ini usianya dua tahun. Makanya sengaja saya bawa dia ke sini,” jelas Rien yang juga merupakan mahasiswa program magister Unpad.
Menurut Rien, Darso membawa pengaruh baik bagi dia dan anaknya. “Setiap anak saya menangis, langsung saya nyanyikan lagu Hayang Kawin dan dia langsung diam. Bahkan bisa sampai tertidur,” ujar Rien yang mengaku malu saat dirinya sempat tidak menyukai kesenian asli tempat kelahirannya sendiri.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »